SERANG, SSC – Direktorat Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Banten mengungkap kasus pemalsuan surat keterangan negatif rapid test antigen di Pelabuhan Merak, Kota Cilegon. Dalam pengungkapan kasus tersebut, polisi menetapkan 5 orang tersangka, satu diantaranya adalah seorang dokter di salah satu klinik di Gerem, Cilegon.
Dirkrimum Polda Banten Kombes Ade Rahmat Idnal mengatakan, pihaknya dalam pengungkapan kasus tersebut mengamankan lima tersangka berinisial DSI (43), RO (28), YT (20), RS (20) dan RF (31) yang berprofesi sebagai dokter. Para tersangka diduga memalsukan surat bebas Covid-19 yang disediakan untuk penumpang sebagai syarat penyebrangan di pelabuhan.
“Iya mereka ini sindikat antigen untuk penyeberangan,” ungkap Ade Rahmat saat konferensi pers di Mapolda Banten, Senin (26/7/2021).
Para tersangka dalam menjalani aksinya menyasar calon penumpang yang ingin menyeberang di Pelabuhan Merak. Tersangka mencari calon penumpang kapal yang memerlukan surat kesehatan tersebut tanpa melalui pemeriksaan kesehatan.
Ade Rahmat mengatakan, praktek sindikat pemalsuan surat RT antigen ini sudah dijalankan sejak bulan Mei 2021 di saat mulai diterapkan PPKM Darurat.
“PPKM Darirat diberlakukan dengan sasarannya penumpang yang kesulitan mendapatkan surat antigen asli,” paparnya.
Kata Dirkrimum, kelima tersangka mempunyai peran berbeda-beda. Tersangka DSI dan RF berperan sebagai penyedia dan pembuat surat rapid tes antigen palsu. Di mana DSI membuat surat dengan cara mengubah identitas sesuai KTP penumpang menggunakan komputer di rumah milik dr. RF.
“Surat dibuat tanpa melalukan prosedur pemeriksaan kesehatan yang semestinya,” terangnya.
Pada aksi tersebut, tersangka RO dan YT dan RS menyediakan jasa kendaraan dan menawarkan dan mencari penumpang yang tidak memiliki surat keterangan rapid test antigen.
“Satu orang dikenakan tarif Rp100.000, dan ini omsetnya dalam satu hari bisa sampai jutaan. Sehari bisa puluhan surat antigen yang dibuatkan,” beber Ade.
Ade menyebut, kepada lima tersangka disangkakan sejumlah pasal pada Undang-undang (UU) KUHP, UU Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Penyebaran Penyakit Menular dan UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
“Kelimanya diancam pidana selama 10 tahun penjara,” pungkasnya. (Ronald/Red)