CILEGON, SSC – Mata air Gunung Batur menjadi tumpuan masyarakat yang tinggal di Lingkungan Gunung Batur, Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Pulomerak, Kota Cilegon untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari.
Saat ini yang belum memasuki musim kemarau, mata air itu diandalkan untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari masyarakat. Namun saat musim kemarau tiba, mata air kering dan krisis air mengancam.
Pada Senin (28/4/2025) di lokasi mata air Gunung Batur, wartawan Selatsunda.com melakukan pemantauan. Tampak masyarakat beraktivitas memanfaatkan air dari sumber mata air.
Beberapa warga ada yang melakukan aktivitas cuci pakaian, sebagian lainnya mengambil air dari sumber air yang mengalir dari bebatuan. Tepat di area bawah sumber mata air, masyarakat mengambil air yang keluar dari bebatuan. Mereka menggunakan bambu yang disusun agar air mengalir di wadah penampungan yang mereka gunakan.

Ketua RT 02 RW 03 Lingkungan Gunung Batur 2, Fadlilah mengaku, memang masyarakat saat musim hujan tidak begitu merasakan krisis air. Air biasanya keluar dari sumber mata air dan ditampung di tempat penampungan masyarakat.
“Kalau musim hujan enak nggak enak, karena ada torent ini (menampung air) dari kali, mata air sungai di atas. Warga bisa ambil disini (torent). Jadi kalau di musim hujan itu tidak seberapa, itu dua tiga bulan paling lama empat bulan (memanfaatkan mata air),” ujar Fadlilah diwawancarai di rumahnya.
Air yang mengalir itu, kata Fadlilah, biasanya ditampung untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Baik untuk wudhu di masjid, musala serta kebutuhan warga.
“Sumber air ini dari kali menggunakan selang. Jadi dari atas turun. Kalau sekarang ada airnya. Jadi masyarkat ambilnya disini. Dari atas itu ke masjid, kemudian ke musala dan ke sini (penampungan air atau torent),” terangnya.

Berbeda saat musim kemarau tiba. Kata Fadlilah, masyarakat saat kemarau begitu sangat kesulitan mendapatkan air bersih. Krisis air bisa dirasakan masyarakat sangat panjang hingga 7 bulan.
“Kalau musim kemarau, sehari semalam kita ngga pulang cari air dari atas. Itu kalau kemarau nggak pasti, itu sampai 7 bulan. Mulai bulan Juni atau Juli. Makanya sangat kesulitan,” tuturnya.
“Jadi lepas dari empat bulan kesana (setelah musim hujan), senggasara lagi, harus ke sumur lagi. Nganso lagi, gotong lagi,” paparnya.
Sebenarnya, kata Fadlilah, jika melihat geografis Gunung Batur terdapat sumber mata air. Diprediksi jika serius ditangani dengan dibor, air dapat keluar. Namun hingga saat ini belum ada yang melakukan itu sekalipun Pemkot Cilegon.
“Sebenarnya daerah Gunung Batur ini ada mata air, kalau kedalaman kita tidak bisa prediksi. Tapi kalau kedalam air pasti ada air. Saya yakin ada,” paparnya.
“Belum pernah, cuman perkiraan saja. Perkiraannya biaya ini menjadi kendala. Kalau memang benar-benar memikirkan masyarakat, beraapun biayanya, pasti terlaksana,” terangnya.
Seluruh warga Gunung Batur 2, kata Fadlilah, begitu menaruh harapan ada solusi jangka panjang dari Pemerintah Kota Cilegon. Agar warga bisa mendapatkan air yang layak seperti masyarakat lainnya.
Ia sebagai ketua rukun tetangga yang telah menjabat 7 tahun meminta Pemkot Cilegon dapat serius menangani masalah krisis air bersih di Lingkungan Gunung Batur.
“Pengen Pemkot itu segera melaksanakan apa yang sudah direncanakan terutama air bersih karena itu yang menjadi kendala masyarakat kami,” ucapnya.
Fadlilah pun berandai jika ia yang menjadi walikota maka yang dilakukan pertama mengatasi krisis air bersih di Gunung Batur.
“Seandainya saya jadi walikota, yang saya ingin atasi krisis air di Gunung Batur,” ucapnya. (Ronald/Red)